Kematianku

Kencangkan sabuk pengamanmu, lalu berpeganganlah dengan erat, sebab aku akan membawamu pergi dengan kecepatan yang lebih lesat dari kilat.

Entah apa yang akan kau pikirkan setelah kita sampai di tujuan, karena sesungguhnya aku tak peduli, sama seperti tak pedulinya kau pada pohon-pohon cabe yang kusemai di pot-pot mungil di teras rumahmu.

Mungkin segalanya akan berubah atau tidak sama sekali, sebab yang akan kutunjukkan sesungguhnya jauh lebih baik atau lebih buruk dari sesuatu yang sedang kau bayangkan.

Atau bila memang jauh meleset dari apapun yang berlarian di kepalamu, kuharap kau tidak terkejut lalu memaksa pindah ke kepalaku, karena aku sudah terlalu sibuk dengan kebun buah dan bunga yang lebih sering kau bilang belantara di kepalaku.

Tapi ketahuilah, bahkan di pikiranku kau tak akan lebih buruk dari semua hewan-hewan liar yang sering beterbangan dari mulutmu atau sumpah serapah dari bibirku ketika kita sama-sama meninggalkan otak kita dan membiarkannya berlibur sejenak menikmati angin semilir di tengah hutan.

Ingatlah saat kita masih saling bertukar permen kapas di taman lalu berlarian dan berkejaran sambil tertawa-tawa seperti adegan film India yang kadang membuatku merasa aneh karena kita pernah melakukan adegan menggelikan itu.

Apakah kau masih memejamkan matamu saat kita sedang melaju karena terlalu cepat menurutmu namun terlalu lambat menurutku?

Nyatanya kau tetap sedingin kutub utara meski kita telah mendarat dengan penuh memar dan lebam di sana-sini karena membentur banyak aksara yang beterbangan di tengah jalan.

Kematian bukan penyelesaian, namun akan kukabulkan bila kau menginginkannya, maka di sini akan kugali pemakamanku sendiri lalu kita akan terbebas dari apapun yang coba kita paksakan untuk disatukan.

Usaikah? Setelah ini? Langit menampilkan semburat ungu, sedang burung gagak menyanyikan lagu dari neraka; aku masih terus asyik menggali, sementara kepalaku mengikutimu.

Pangkalpinang, 5 April 2014