Perkenalkan, namaku Iwan…

Badut itu memainkan atraksi sulap yang selalu mengundang gelak tawa anak-anak komplek. Tangannya bergerak lincah. Hidungnya yang bulat bergoyang-goyang bak ekor burung parkit. Guyonan kesukaan anak-anak terus terlontar dari bibirnya yang tak pernah berhenti menyunggingkan senyuman. Aku sangat menyukai badut, tetapi aku tidak menyukai anak-anak. Menurutku terlalu berisik dan menjengkelkan. Jadi aku hanya mengamatinya dari kejauhan, di balik rimbunan pohon akasia di depan kantor balai desa, 200 meter dari tempatnya biasa beratraksi. Setiap hari.

 ********

 “Perkenalkan, namaku Iwan…” katanya di suatu senja yang muram, di beranda kantor kepala desa ketika kutanyakan siapa namanya. Saat itu langit bersedih, kilat menyambar dari segala penjuru. Aku sedang duduk di tempat kesukaanku ketika tiba-tiba hujan turun dengan derasnya.

“Aku tidak suka badut. Juga anak kecil.” Lanjutnya sambil tertawa. Dia mengacak-acak rambut lurusnya yang basah.

Keningku berkerut, “Tidak suka badut. Tidak suka anak kecil. Tapi malah jadi badut yang disukai anak kecil?”

“Aku hanya ingin bersahabat dengan semua hal yang tak kusukai,” katanya sambil tersenyum. “Ada banyak hal yang tidak kita sukai. Bukankah menyenangkan kalau kita menyingkirkan itu semua dan menganggapnya biasa saja?” lanjutnya lagi sambil memainkan tetes hujan yang sepertinya enggan mereda. Sekilas, tatapannya tampak kosong. Tetapi di menit berikutnya, pemilik hidung mancung dan mata sipit itu sudah menunjukkan padaku beberapa trik sulap yang biasa dimainkannya di depan anak-anak. Disertai guyonan dan candaan yang seakan tak ada habisnya.

 ********

 “Besok aku nggak atraksi, El.” Katanya sambil menyeruput es kelapa muda yang kubeli di warung bang Pojik. Sudah delapan bulan sejak aku mengenalnya di kantor balai desa waktu itu. Sekarang kami bersahabat. Setelah selesai atraksi, dia akan menghampiriku yang menonton pertunjukannya di tempat kesukaanku, membersihkan wajahnya, lalu menghabiskan waktu di beranda kantor balai yang sudah sepi hingga matahari tenggelam ditelan cakrawala.

“Kenapa?”

“Ada sesuatu yang harus aku lakukan. Ini demi masa depan!” katanya lagi sambil mengerlingkan sebelah matanya.

Kelopak mataku seketika melebar. “Oh ya? Tentang gadis itu? Jadi dia menerima lamaranmu?” tanyaku antusias.

“Tentu saja!” dia tertawa. Lalu dia bercerita tentang seorang wanita yang sangat sempurna di matanya. Fina, gadis cantik penjaga perpustakaan yang dikenalnya setahun lalu. Nona manis bersuara emas dengan kacamata bulat yang tak pernah kehilangan senyuman. Terlalu seringnya Iwan bercerita tentang seorang Fina hingga aku merasa sudah mengenal sang pujaan hati dengan baik, walau aku belum pernah bertemu dengannya sekalipun. “Nanti kalian pasti bertemu,” katanya sambil tersenyum nakal bila kuminta ia mengenalkanku pada kekasihnya.

“Lalu, bagaimana denganmu? Bukankah kamu sudah menjadi pacar seorang Sonny? Anak seorang kepala desa yang tampannya melebihi Krisna hingga membuat semua wanita jatuh cinta.” Godanya tiba-tiba. Bila aku sedang bercermin, mungkin pipiku sudah mengalahkan merahnya jambu air yang sedang berbuah lebat di depan balai itu.

“Ah, kamu bisa saja.” Bila sudah begitu, aku hanya bisa tersipu-sipu. Dan Iwan, dengan segala kejahilannya, akan menggodaku hingga aku tak bisa lagi berkata-kata.

********

“Kamu sudah mondar mandir puluhan kali, El. Tidak pusing? Duduklah dulu.” Sonny memandangiku sambil geleng-geleng kepala. Sudah seminggu Iwan tidak menggelar atraksi. Anak-anak kecil yang sering menonton pertunjukannya sudah ratusan kali bertanya padaku, dan itu membuatku kesal. Tetapi bukan hal itu yang membuatku gelisah. Tidak biasanya pria badut itu tak bisa dihubungi. Sejak dia pamit padaku minggu lalu, dia seperti menghilang ditelan bumi.

“Iwan kemana ya, Son. Kok hapenya gak bisa dihubungi sih?” Sonny hanya mengangkat bahu. Mereka memang tidak terlalu akrab. Sonny tidak terlalu menyukai Iwan yang menurutnya terlalu misterius. Katanya, ada yang disembunyikan sahabatku itu dibalik senyuman lebarnya. Tetapi dia sama sekali tidak melarang kami untuk berteman.

“Mungkin dia ada keperluan penting. Bukankah dia sudah mengatakannya padamu? Tentang gadis yang dilamarnya itu..” Lanjut Sonny sambil mengunyah kue donat buatan ibuku. “Kue ibumu semakin enak saja,” lanjutnya setengah bergumam.

“Ah, kamu sama sekali tidak membantu!” rajukku. Kuhempaskan tubuhku di sofa. “Biasanya dia selalu menghubungiku, Son. Paling betah tiga hari dia tak berkabar. Itu pun masih bisa dihubungi via sms dan bbm. Ini sudah seminggu! Dan hapenya sama sekali tidak aktif!”

“Sudahlah, sayang. Berikan dia privacy. Mungkin dia ingin menyendiri dulu untuk sementara waktu. Kamu memang sahabatnya, tapi bukan berarti kamu harus tahu segalanya tentang dia, kan? Biarkan dia menyelesaikan urusannya terlebih dahulu. Aku yakin, nanti dia pasti akan menghubungimu.” Kata Sonny sambil menarikku ke dalam dekapannya.

Aku terdiam. Sonny benar. Aku harus membiarkan dia menyelesaikan semua urusannya. Mungkin dia sedang sibuk mengurusi rencana pernikahannya dengan Fina. Tetapi entah mengapa, aku merasa ada sesuatu yang disembunyikan pria badut itu dariku. Entah apa. Yang jelas, hatiku sama sekali tidak tenang.

********

Aku masih menatap deretan pohon rambat yang entah apa namanya itu. Di sekitarku, bunga kamboja berjatuhan. Gerimis belum reda, tapi aku belum ingin beranjak. Di sebelahku, Sonny hanya terdiam setelah gagal mengajakku pulang. Sementara Fina, calon istri Iwan sudah tak kelihatan lagi. Dia hanya memandangku sebentar, menyerahkan sebuah bungkusan yang ternyata berisi boneka badut, lalu pergi.

Dadaku masih sakit. Kupandangi lagi boneka badut yang dibeli Iwan bersamaku beberapa minggu lalu. Lalu kutekan tombol di perutnya untuk yang kesekian kali. Dan ia bernyanyi lagi…

“Perkenalkan, namaku Iwan…
Aku tak suka badut, pun tak suka anak-anak,
tetapi gadis senja muramku, aku tak ingin menipu
Senjamu tak semuram senjaku.
Perkenalkan, namaku Iwan…
Aku tak suka badut, pun tak suka anak-anak,
tetapi gadis senja muramku, aku tak ingin menipu
Aku hanya ingin bersahabat dengan hatimu.”

  ********

Badut itu memainkan atraksi sulap yang selalu mengundang gelak tawa anak-anak komplek. Tangannya bergerak lincah. Hidungnya yang bulat bergoyang-goyang bak ekor burung parkit. Guyonan kesukaan anak-anak terus terlontar dari bibirnya yang tak pernah berhenti menyunggingkan senyuman. Aku sangat menyukai badut, tetapi aku tidak menyukai anak-anak. Menurutku terlalu berisik dan menjengkelkan. Jadi aku hanya mengamatinya dari kejauhan, di balik rimbunan pohon akasia di depan kantor balai desa, 200 meter dari tempatnya biasa beratraksi. Setiap hari.

Tetapi itu dulu. Setahun yang lalu. Sekarang badut itu sudah tak menggelar atraksinya lagi di tempat itu. Tempat yang biasa aku pandangi setiap petang hingga senja menghilang. Iwan, sang badut yang lucu lebih menyukai awan, tempat ia kini memandangiku dan mungkin juga kamu, setiap hari. Tempat yang dipilihnya setelah empat tahun berjuang melawan kanker otak yang selama ini disembunyikan di dalam senyumannya yang sempurna.

 

Diikutsertakan dalam PESTA NULIS: ULANG TAHUN KAMAR FIKSI MEL ke 1